Selasa, 07 November 2017

Tradisi Pesantren


BAB I
PENDAHULUAN
Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung arti yang sama.
Perlu diketahui, kata pesantren berasal dari kata santri . Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
            Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Diawali dengan berdiringan pondok pesantren yang digaungi oleh sunan Ampel, yang pada akhirnya akan menjadi cikal bakal berkembangnya pesantren.
            Kesederhanaan kehidupan dipesantren sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Serta tradisi-tradisi yang amat melekat dipesantren. Dalam makalah inilah kami  berusaha untuk menguraikan dan membahas tradisi-tradisi apa saja yang melekat dan menjadi ciri khas dari pesantren secara umum.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tradisi Pesantren
Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris, “tradition” yang berarti tradisi. Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya) yang turun menurun dari nenek moyang hingga anak cucu.[1]
 Pondok pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.[2]
Tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktekkan dipesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainya. Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai yang dipahami, dihayati, diamalkan dan melekat pada seluruh komponen pesantren.
Dilihat dari pengertian pondok pesantren diatas, maka terdapat 4 aspek penting didalam suatu pesantren, yaitu kiai, santri, masjid, pemondokan atau asrama.


B. Tradisi dalam Pesantren
            Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pondok pesantren memainkan peranan penting dalam usaha memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia terutama pendidikan agama Islam. Pesantren, dari awal mula berdiri hingga saat ini masih terus dapat eksis dan berperan dalam upaya memberikan pendidikan yang bermutu. Mukti Ali mengidentifikasikan beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional yang terdapat dalam sebuah pesantren yakni: 
1. Adanya hubungan yang akrab antara Kiai dan santri. Dikarenakan sama-sama tinggal dalam satu atap.
2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai. Santri mengganggap bahwa tidak akan memperoleh berkah apabila durhaka pada guru (Kiai).
3. Pola hidup sederhana (zuhud) dan  hidup hemat benar-benar terwujud dalam pesantren. Bahkan tidak sedikit yang terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatan.
4. Kemandirian atau indenpendensi amat terasa di pesantren. Santri melakukan sendiri semua pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, memasak, dsb.
5. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan atau ukhuwah sangat tinggi.
6. Disiplin ketat yang sangat dianjurkan dengan tujuan akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7. Berani menderita untuk mencapai tujuan. Merupakan pengaruh dari kebiasaan puasa sunah, zikir, salat tahajud, dsb.
8.  Kehidupan dengan tingkat relagiusitas yang tinggi.
9. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi.[3] Pemberian ijazah ini biasanya berbentuk seperti ijazah pada umumnya dan diberikan kepada para santri yang telah menyelesaikan pelajaran (Kitab) yang diajarkan kepadanya.
Di dalam pesantren terdapat tradisi – tradisi yang melekat dan masih menjadi bagian dari karakter sebuah pesantren. Tradisi yang ada dalam sebuah pesantren tentu berbeda-beda sesuai dengan karakteristik atau ciri dari pesantren tersebut, namun secara umum terdapat aspek-aspek yang dominan didalam sebuah pesantren seperti Kiai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab Kuning.
1.      Kiai (Pendidik)

Makna pendidik dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003, Bab I, Pasal 1, ayat 6 adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.[4]
Seorang pendidik dalam sebuah pesantren biasa dikenal dengan sebutan Kiai, di pulau jawa terdapat sebutan Kiai pesantren dan Kiai lelono ( kiai yang tidak memiliki pesantren dan selalu mensyiarkan agama Islam dari satu tempat ketempat lain).[5]  Seorang Kiai yang mengajarkan agama Islam biasanya sudah bermukim bertahun – tahun bahkan berpuluh – puluh tahun di Mekkah atau Madinah atau pernah mengaji kepada seorang kiai terkenal ditanah air. Kemudian ketika pulang kedaerahnya mereka mengajarkan pengetahuan tentang ilmu – ilmu agama  yang didapatkannya kepada masyarakat sekitar daerah tempat tinggalnya.
Dalam sebuah pesantren, seorang kiai memegang peranan yang sangat penting dalam sistem pembelajarannya. Selain mengajarkan ilmu – ilmu agama juga berfungsi sebagai pengganti orang tua yang bertanggung jawab terhadap para santrinya.
2.      Santri (Peserta didik)

Seseorang yang belajar dipesantren disebut dengan istilah santri mukim sedangkan santri yang pulang pergi dari rumah mereka disebut dengan istilah santri kalong.
Di dalam sebuah pesantren, awalnya tentu tidak banyak jumlah santri yang menuntut ilmu atau mondok, karena keistiqomahan dan keikhlasan sang kiai dalam mengajarkan ilmunya lama kelamaan masyarakat mulai mempercayai adanya pondok tersebut. Disamping itu, biasanya Kiai juga banyak menghabiskan waktu untuk mengabdi pada masyarakat dan menunjukkan suri tauladan yang baik. Para santri umumnya berusia 12 sampai 25 tahun, namun ada juga yang kurang dari usia 12 tahun dan ada pula yang lebih dari 25 tahun. Santri yang berusia 12 tahun biasanya masuk dipesantren – pesantren khusus untuk pendidikan anak – anak, sedangkan santri yang berusia diatas 25 tahun masuk dipesantren khusus thoriqah dan mempelajari ilmu – ilmu agama yang lebih luas.
Bagi pesantren yang memiliki santri lebih dari seratus orang biasanya santri – santri senior yang sudah dianggap mampu juga ikut membantu Kiai dengan mengajarkan santri – santri yunior dipondok mereka masing – masing yang biasa disebut dengan panggilan “Ustadz”.[6] Sehingga para santri yunior biasanya sangat menghormati para santri senior meskipun status mereka didalam pesantren sama yaitu sebagai santri atau pencari ilmu.
Disamping mengaji, para santri juga dilatih kedisiplinannya dengan mengerjakan kewajiban agama seperti shalat berjama’ah dan puasa. Dalam banyak pesantren, mereka yang tidak ikut shalat berjama’ah biasanya akan dikenakan hukuman yang sifatnya ringan dan mendidik seperti membaca atau menghafl surat – surat tertentu, disuruh menjalankan puasa sunah dan ada pula yang disuruh membersihkan lingkungan pesantren.
3.      Masjid

Sejarah awal pembentukan dan pendirian pesantren biasanya dimulai dari pengajian – pengajian kecil dimasjid- masjid atau dimusholla yang disampaikan oleh seorang Kiai. Pengajaran yang berlangsung dimasjid dan dimusholla biasanya hanya dilakukan satu atau dua kali saja dalam seminggu. Pengajarannya pun tidak pernah mengenal istilah “bayaran” untuk mengaji, semata – mata untuk menyebarkan agama Islam. Seorang Kiai mengerjakan pekerjaan tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan masyarakatnya.
Dari sistem pengajian yang tidak memungut bayaran ini, terbentuklah keinginan masyarakat agar anak –anaknya dapat berguru kepeda sang Kiai agar menjadi orang yang shaleh dan mengerti tentang agama. Bagi mereka yang rumahnya dekat biasanya akan berangkat mengaji dari rumah mereka sedangkan yang berasal dari luar desa atau kota akan mendirikan bangunan – bangunan sederhana disekitar masjid.

4. Kitab Kuning

Disebut kitab kuning karena biasanya dicetak dengan warna kertas kuning  yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Ciri – ciri dari kitab kuning yaitu:
1)      Kitab – kitabnya berbahasa Arab.
2)      Umumnya tidak memakai syakal (harakat) bahkan tanpa titik dan koma.
3)      Berisi keilmuan yang cukup berbobot.
4)      Metode penulisannya dianggap kuno dan relevansinya dengan ilmu kontemporer kerap kali tampak menipis.
5)      Lazimnya dikaji dan dipelajari dipondok pesantren.
6)      Banyak diantara kertasnya berwarna kuning.[7]

Para santri yang biasanya mengaji kepada Kiai di Masjid atau surau dengan membawa kitab kuning yang diajarkan dan mengartikannnya secara seksama. Sistem pengajian seperti ini biasanya disebut sebagai pengajian Bandongan atau Wetonan, dimana seorang kiai mengartikan kata demi kata dan para santri secara keseluruhan mengartikan kitab yang dibacakan dan mendengarkan keterangan yang diulas Kiai. Cara pengartian seperti ini dilakukan dengan tujuan agar para santri bisa menangkap fungsi kata per kata serta lebih dapat memahami gramatikal bahasa Arab.[8]
Selain metode bandongan ada pula metode lain yang digunakan dalam pengajaran di pesantren yaitu:
·         Metode Sorogan adalah metode dimana santri menghadap guru satu persatu dengan membawa kitab yang dipelajari sendiri. Kiai membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat kemudian menerangkan maksudnya atau Kiai cukup menunjukkan cara membaca yang benar tergantung materi yang diajukan dan kemampuan santri.
·         Metode Hafalan adalah metode yang berlangsung dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinnya.[9] Materi dalam metode hafalan biasanya berhubungan dengan al-Qur’an, nadzam-nadzam untuk nahwu, sharaf, tajwid atau teks-teks nahwu, sharaf dan fiqih.
·         Metode Halaqah, dimana para santri mengulang- ulang kembali pelajaran yang sudah diterimanya dipondok mereka masing – masing abik diulang sendiri- sendiri (Muthala’ah atau takrar) maupun secara kolektif (Musyawarah).
·         Mudzakarah atau Bahtsul Masa’i  merupakan pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, akidah, dan permasalahan - permasalahan agama lainnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Bedanya, sebagai sebuah metodologi mudzakarah pada umumnya hanya diikuti oleh para Kyai atau para santri tingkat tinggi.
Dalam mudzakarah dapat dibedakan atas 2 tingkat kegiatan, yaitu:[10]
1. Diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas masalah dengan tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan yang didapat.
2. mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah yang diselenggarakan para santri diajukan untuk dibahas seperti dalam seminar. Biasanya lebih banyak berisi tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.
·         Muqoronah adalah sebuah metode yang berfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham, metode, maupun perbandingan kitab. Metode ini hanya diterapkan pada kelas-kelas santri senior saja, mereka biasanya membandingkan beberapa kitab yang membahas hal atau materi yang sama.
·         Muhawarah atau Muhadatsah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan Bahasa Arab. Metode ini digunakan untuk berbicara baik dengan sesama santri maupun dengan para ustaz atau kyai.
·         Metode Demonstrasi adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan (mendemonstrasikan) suatuketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan baik dengan cara perseorangan maupun kelompok dibawah petunjuk dan bimbingan Kyai atau ustadz.
            Untuk mempelajari kitab kuning tidaklah sama dengan belajar membaca al-Qur’an sebab kitab kuning menggunakan bahasa Arab yang biasanya tidak memakai harakat, maka untuk bisa membaca dan memahami isi kitab tersebut seorang santri harus terlebih dahulu mengetahui kaidah – kaidah bahasa Arab yang biasa kita kenal dengan Nahwu dan Shorof. Dengan memahami Nahwu Shorof maka akan mempermudah membaca kitab kuning.
            Kitab- kitab yang diajarkan kepada para santri biasanya disesuaikan dengan umur dan kemampuan mereka. Bagi para santri pemula (yunior)  biasanya diajarkan kitab – kitab yang berhubungan dengan kaidah bahasa, akhlak, fiqh dan kitab – kitab lain yang masih sederhana penjabarannya dan mudah difahami. Sedangkan untuk santri yang sudah lama dipondok (senior) diajarkan kitab – kitab yang lebih luas dan panjang penjabarannya.
            Adapun kitab – kitab yang biasa dibacakan seorang Kiai dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam sesuai dengan tebal tipisnya kitab tersebut, yakni:
Ø  Kutub al Mabsusat ( kitab yang singkat)
Ø  Kutub al Mutawassitaat (kitab yang sedang)
Ø  Kutub al Muthawwilat (kitab yang luas bahasannya sehingga berjilid – jilid)[11]



5. Pemondokon atau asrama
            Tempat bermukim atau yang lebih dikenal dengan “Pondok” merupakan tempat tinggal para santri dalam menuntut ilmu agama. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama.[12] Zaman dahulu pemondokan hanya terbuat dari kayu dan bambu saja, tempatnya pun tidak begitu luas dan biasanya berbentuk sederhana serta terdiri dari beberapa ruang yang dihuni banyak santri. Berbeda dengan pondok zaman sekarang yang sudah lebih baik, bangunannya sudah permanen dan terdapat sarana dan prasarana yang memadai.












BAB III
KESIMPULAN
            Tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktekkan dipesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainya.
            Tradisi yang ada dalam sebuah pesantren tentu berbeda – beda sesuai dengan karakteristik pesantren itu sendiri, namun secara garis besar tradisi yang ada dalam sebuah pesantren mencakup aspek- aspek yakni Kiai, Santri, Masjid, Pemondokan dan Kitab kuning.










DAFTAR PUSTAKA
Faiqoh. 2003. Nyai Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta: Kucica 
Masyhud, Sulthon dan Khusnordilo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren.             Jakarta: Diva Pustaka.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2010.Ilmu Pendidikan Islam. Jakata:   Kencana.
Pradjoto Dirdjosanjoto. 1999. Memelihara Umat, Kiai Pesantren – Kiai langgar.   Yogyakarta: Lkis.
Thoifuri. 2007. Menjadi Guru Inisiator. Semarang: Rosail Maha Group.
http// ruslyboyan.blogspot.com/2010/07/metode-metode-pengajaran-dalam.html    




        [1] http://aminuddi.blogspot.com/2013/12/tradisi-pesantren-dalam-tantangan-arus.html
                [2] Mujib, Abdul dan Jusuf  Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakata: Kencana, 2010) hal 234-235.
                                   [3] Ali,  Mukti, Beberapa Persoalan Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Press, 1987)
                [4] Thoifuri, Menjadi Guru Inisiator, (Semarang: Rosail Maha Group, 2007) hal 2.
                [5] Pradjoto Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren – Kiai langgar, (Yogyakarta: Lkis, 1999) hal 36.
                [6] Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren (Jakarta: Kucica, 2003) hal 165.
                [7] Mujib, Abdul. Op,cit. Hal 236.
                [8] Ibid, hal 164.
                [9] Masyhud, Sulthon dan Khusnordilo, Manajemen Pondok Pesantren. (Jakarta: Diva Pustaka, 2003) hal. 89
                [10] http// ruslyboyan.blogspot.com/2010/07/metode-metode-pengajaran-dalam.html
                [11] Faiqoh, Op,cit. Hal 165
                [12] Masyhud, Sulthon dan Khusnordilo, Op,cit. hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dengan bijak