BAB I
PENDAHULUAN
Pondok
pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai
ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang
bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung arti yang sama.
Perlu
diketahui, kata pesantren berasal dari kata santri . Asal kata san
berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra
berarti orang baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina
manusia menjadi orang baik.
Dalam catatan sejarah, Pondok
Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Diawali dengan
berdiringan pondok pesantren yang digaungi oleh sunan Ampel, yang pada akhirnya
akan menjadi cikal bakal berkembangnya pesantren.
Kesederhanaan kehidupan dipesantren
sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat
belajar lainnya. Serta tradisi-tradisi yang amat melekat dipesantren. Dalam
makalah inilah kami berusaha untuk
menguraikan dan membahas tradisi-tradisi apa saja yang melekat dan menjadi ciri
khas dari pesantren secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tradisi Pesantren
Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris, “tradition” yang berarti
tradisi. Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai sesuatu (seperti
adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya) yang turun menurun dari
nenek moyang hingga anak cucu.[1]
Pondok pesantren yaitu suatu lembaga
pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar
dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan
untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokan
atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.[2]
Tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami,
dihayati, dan dipraktekkan dipesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan
peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga
pendidikan lainya. Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai yang dipahami,
dihayati, diamalkan dan melekat pada seluruh komponen pesantren.
Dilihat dari pengertian pondok pesantren diatas, maka terdapat 4 aspek
penting didalam suatu pesantren, yaitu kiai, santri, masjid, pemondokan atau
asrama.
B. Tradisi dalam Pesantren
Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pondok pesantren memainkan peranan
penting dalam usaha memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia terutama
pendidikan agama Islam. Pesantren, dari awal mula berdiri hingga saat ini masih
terus dapat eksis dan berperan dalam upaya memberikan pendidikan yang bermutu. Mukti Ali mengidentifikasikan beberapa pola
umum pendidikan Islam tradisional yang terdapat dalam sebuah pesantren yakni:
1. Adanya hubungan yang akrab antara Kiai dan santri. Dikarenakan
sama-sama tinggal dalam satu atap.
2.
Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai. Santri
mengganggap bahwa tidak akan memperoleh berkah apabila durhaka pada guru (Kiai).
3. Pola hidup sederhana (zuhud) dan
hidup hemat benar-benar terwujud dalam pesantren. Bahkan tidak sedikit
yang terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatan.
4. Kemandirian atau indenpendensi amat terasa di pesantren. Santri
melakukan sendiri semua pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, memasak, dsb.
5. Berkembangnya
iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan atau ukhuwah sangat
tinggi.
6. Disiplin
ketat yang sangat dianjurkan dengan tujuan akan memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7. Berani
menderita untuk mencapai tujuan. Merupakan pengaruh dari kebiasaan puasa sunah,
zikir, salat tahajud, dsb.
8. Kehidupan dengan tingkat relagiusitas yang
tinggi.
9. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar
rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang
berprestasi.[3]
Pemberian ijazah ini biasanya berbentuk seperti ijazah pada umumnya dan
diberikan kepada para santri yang telah menyelesaikan pelajaran (Kitab) yang
diajarkan kepadanya.
Di dalam pesantren terdapat tradisi – tradisi yang melekat dan masih
menjadi bagian dari karakter sebuah pesantren. Tradisi yang ada dalam sebuah
pesantren tentu berbeda-beda sesuai dengan karakteristik atau ciri dari
pesantren tersebut, namun secara umum terdapat aspek-aspek yang dominan didalam
sebuah pesantren seperti Kiai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab Kuning.
1.
Kiai (Pendidik)
Makna pendidik dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003,
Bab I, Pasal 1, ayat 6 adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.[4]
Seorang pendidik dalam sebuah pesantren biasa
dikenal dengan sebutan Kiai, di pulau jawa terdapat sebutan Kiai pesantren dan
Kiai lelono ( kiai yang tidak memiliki pesantren dan selalu mensyiarkan agama
Islam dari satu tempat ketempat lain).[5] Seorang Kiai yang mengajarkan agama Islam
biasanya sudah bermukim bertahun – tahun bahkan berpuluh – puluh tahun di
Mekkah atau Madinah atau pernah mengaji kepada seorang kiai terkenal ditanah
air. Kemudian ketika pulang kedaerahnya mereka mengajarkan pengetahuan tentang
ilmu – ilmu agama yang didapatkannya
kepada masyarakat sekitar daerah tempat tinggalnya.
Dalam sebuah pesantren, seorang kiai memegang
peranan yang sangat penting dalam sistem pembelajarannya. Selain mengajarkan
ilmu – ilmu agama juga berfungsi sebagai pengganti orang tua yang bertanggung
jawab terhadap para santrinya.
2.
Santri (Peserta didik)
Seseorang yang belajar dipesantren disebut
dengan istilah santri mukim sedangkan santri yang pulang pergi dari rumah
mereka disebut dengan istilah santri kalong.
Di dalam sebuah pesantren, awalnya tentu tidak
banyak jumlah santri yang menuntut ilmu atau mondok, karena keistiqomahan dan
keikhlasan sang kiai dalam mengajarkan ilmunya lama kelamaan masyarakat mulai
mempercayai adanya pondok tersebut. Disamping itu, biasanya Kiai juga banyak
menghabiskan waktu untuk mengabdi pada masyarakat dan menunjukkan suri tauladan
yang baik. Para santri umumnya berusia 12 sampai 25 tahun, namun ada juga yang
kurang dari usia 12 tahun dan ada pula yang lebih dari 25 tahun. Santri yang
berusia 12 tahun biasanya masuk dipesantren – pesantren khusus untuk pendidikan
anak – anak, sedangkan santri yang berusia diatas 25 tahun masuk dipesantren
khusus thoriqah dan mempelajari ilmu – ilmu agama yang lebih luas.
Bagi pesantren yang memiliki santri lebih dari
seratus orang biasanya santri – santri senior yang sudah dianggap mampu juga
ikut membantu Kiai dengan mengajarkan santri – santri yunior dipondok mereka
masing – masing yang biasa disebut dengan panggilan “Ustadz”.[6]
Sehingga para santri yunior biasanya sangat menghormati para santri senior
meskipun status mereka didalam pesantren sama yaitu sebagai santri atau pencari
ilmu.
Disamping mengaji, para santri juga dilatih
kedisiplinannya dengan mengerjakan kewajiban agama seperti shalat berjama’ah
dan puasa. Dalam banyak pesantren, mereka yang tidak ikut shalat berjama’ah
biasanya akan dikenakan hukuman yang sifatnya ringan dan mendidik seperti
membaca atau menghafl surat – surat tertentu, disuruh menjalankan puasa sunah
dan ada pula yang disuruh membersihkan lingkungan pesantren.
3.
Masjid
Sejarah awal pembentukan dan pendirian
pesantren biasanya dimulai dari pengajian – pengajian kecil dimasjid- masjid
atau dimusholla yang disampaikan oleh seorang Kiai. Pengajaran yang berlangsung
dimasjid dan dimusholla biasanya hanya dilakukan satu atau dua kali saja dalam
seminggu. Pengajarannya pun tidak pernah mengenal istilah “bayaran” untuk
mengaji, semata – mata untuk menyebarkan agama Islam. Seorang Kiai mengerjakan
pekerjaan tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan masyarakatnya.
Dari sistem pengajian yang tidak memungut
bayaran ini, terbentuklah keinginan masyarakat agar anak –anaknya dapat berguru
kepeda sang Kiai agar menjadi orang yang shaleh dan mengerti tentang agama.
Bagi mereka yang rumahnya dekat biasanya akan berangkat mengaji dari rumah
mereka sedangkan yang berasal dari luar desa atau kota akan mendirikan bangunan
– bangunan sederhana disekitar masjid.
4. Kitab Kuning
Disebut kitab kuning karena biasanya dicetak dengan warna
kertas kuning yang dikarang oleh para
ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan
bahasa Arab. Ciri – ciri dari kitab kuning yaitu:
1) Kitab – kitabnya berbahasa Arab.
2) Umumnya tidak memakai syakal (harakat) bahkan
tanpa titik dan koma.
3) Berisi keilmuan yang cukup berbobot.
4) Metode penulisannya dianggap kuno dan relevansinya dengan
ilmu kontemporer kerap kali tampak menipis.
5) Lazimnya dikaji dan dipelajari dipondok pesantren.
6) Banyak diantara kertasnya berwarna kuning.[7]
Para santri yang biasanya mengaji kepada Kiai
di Masjid atau surau dengan membawa kitab kuning yang diajarkan dan
mengartikannnya secara seksama. Sistem pengajian seperti ini biasanya disebut
sebagai pengajian Bandongan atau Wetonan, dimana seorang kiai
mengartikan kata demi kata dan para santri secara keseluruhan mengartikan kitab
yang dibacakan dan mendengarkan keterangan yang diulas Kiai. Cara pengartian
seperti ini dilakukan dengan tujuan agar para santri bisa menangkap fungsi kata
per kata serta lebih dapat memahami gramatikal bahasa Arab.[8]
Selain metode bandongan ada pula metode lain
yang digunakan dalam pengajaran di pesantren yaitu:
·
Metode Sorogan adalah metode dimana santri
menghadap guru satu persatu dengan membawa kitab yang dipelajari sendiri. Kiai
membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat kemudian menerangkan
maksudnya atau Kiai cukup menunjukkan cara membaca yang benar tergantung materi
yang diajukan dan kemampuan santri.
·
Metode Hafalan adalah metode yang berlangsung
dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang
dipelajarinnya.[9]
Materi dalam metode hafalan biasanya berhubungan dengan al-Qur’an,
nadzam-nadzam untuk nahwu, sharaf, tajwid atau teks-teks nahwu, sharaf dan
fiqih.
·
Metode Halaqah, dimana para santri mengulang-
ulang kembali pelajaran yang sudah diterimanya dipondok mereka masing – masing
abik diulang sendiri- sendiri (Muthala’ah atau takrar) maupun secara kolektif
(Musyawarah).
·
Mudzakarah
atau Bahtsul Masa’i merupakan
pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, akidah, dan
permasalahan - permasalahan agama lainnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh
berbeda dengan metode musyawarah. Bedanya, sebagai sebuah metodologi mudzakarah
pada umumnya hanya diikuti oleh para Kyai atau para santri tingkat tinggi.
Dalam mudzakarah dapat dibedakan atas 2 tingkat kegiatan, yaitu:[10]
1. Diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas masalah dengan
tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan
menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai
juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan yang didapat.
2. mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah yang
diselenggarakan para santri diajukan untuk dibahas seperti dalam seminar.
Biasanya lebih banyak berisi tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan
dalam bahasa Arab.
·
Muqoronah adalah sebuah metode yang berfokus pada kegiatan perbandingan,
baik perbandingan materi, paham, metode, maupun perbandingan kitab. Metode ini
hanya diterapkan pada kelas-kelas santri senior saja, mereka biasanya
membandingkan beberapa kitab yang membahas hal atau materi yang sama.
·
Muhawarah atau Muhadatsah merupakan latihan bercakap-cakap dengan
menggunakan Bahasa Arab. Metode ini digunakan untuk berbicara baik dengan
sesama santri maupun dengan para ustaz atau kyai.
·
Metode Demonstrasi adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan
memperagakan (mendemonstrasikan) suatuketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah
tertentu yang dilakukan baik dengan cara perseorangan maupun kelompok dibawah
petunjuk dan bimbingan Kyai atau ustadz.
Untuk mempelajari kitab kuning
tidaklah sama dengan belajar membaca al-Qur’an sebab kitab kuning menggunakan
bahasa Arab yang biasanya tidak memakai harakat, maka untuk bisa membaca dan
memahami isi kitab tersebut seorang santri harus terlebih dahulu mengetahui
kaidah – kaidah bahasa Arab yang biasa kita kenal dengan Nahwu dan Shorof. Dengan
memahami Nahwu Shorof maka akan mempermudah membaca kitab kuning.
Kitab- kitab yang diajarkan kepada
para santri biasanya disesuaikan dengan umur dan kemampuan mereka. Bagi para
santri pemula (yunior) biasanya
diajarkan kitab – kitab yang berhubungan dengan kaidah bahasa, akhlak, fiqh dan
kitab – kitab lain yang masih sederhana penjabarannya dan mudah difahami.
Sedangkan untuk santri yang sudah lama dipondok (senior) diajarkan kitab –
kitab yang lebih luas dan panjang penjabarannya.
Adapun kitab – kitab yang biasa
dibacakan seorang Kiai dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam sesuai dengan
tebal tipisnya kitab tersebut, yakni:
Ø Kutub al Mabsusat ( kitab yang singkat)
Ø Kutub al Mutawassitaat (kitab yang sedang)
Ø Kutub al Muthawwilat (kitab yang luas bahasannya
sehingga berjilid – jilid)[11]
5. Pemondokon atau asrama
Tempat bermukim atau yang lebih
dikenal dengan “Pondok” merupakan tempat tinggal para santri dalam menuntut
ilmu agama. Istilah pondok berasal dari bahasa Arab “funduq” yang
berarti hotel atau asrama.[12] Zaman
dahulu pemondokan hanya terbuat dari kayu dan bambu saja, tempatnya pun tidak
begitu luas dan biasanya berbentuk sederhana serta terdiri dari beberapa ruang
yang dihuni banyak santri. Berbeda dengan pondok zaman sekarang yang sudah
lebih baik, bangunannya sudah permanen dan terdapat sarana dan prasarana yang
memadai.
BAB III
KESIMPULAN
Tradisi pesantren adalah segala
sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktekkan dipesantren,
yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi
yang terdapat pada lembaga pendidikan lainya.
Tradisi yang ada dalam sebuah
pesantren tentu berbeda – beda sesuai dengan karakteristik pesantren itu
sendiri, namun secara garis besar tradisi yang ada dalam sebuah pesantren
mencakup aspek- aspek yakni Kiai, Santri, Masjid, Pemondokan dan Kitab kuning.
DAFTAR PUSTAKA
Faiqoh. 2003. Nyai Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta: Kucica
Masyhud, Sulthon dan Khusnordilo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2010.Ilmu Pendidikan Islam.
Jakata: Kencana.
Pradjoto Dirdjosanjoto. 1999. Memelihara Umat, Kiai Pesantren – Kiai
langgar. Yogyakarta: Lkis.
Thoifuri. 2007. Menjadi Guru Inisiator. Semarang: Rosail Maha Group.
http//
ruslyboyan.blogspot.com/2010/07/metode-metode-pengajaran-dalam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar dengan bijak